Minggu, 09 Oktober 2016

Perilaku Selfie Menjamur, Pengaruh BDD Ikut Bertutur

Remaja! Fase ini cenderung digunakan untuk mengukuhkan eksistensi diri. Mereka yang tidak memiliki keberanian untuk unjuk gigi di dunia nyata, memilih untuk memanfaatkan lahan dunia maya, terutama media sosial. Pasalnya, di dunia tersebut, mereka tidak perlu berhadapan langsung dalam berinteraksi dengan orang lain, tidak perlu saling menatap mata ketika melontarkan kiriman, dan tidak perlu berdandan rapi ketika akan mengunggah sesuatu.
Berbagai fasilitas ‘mewah’ yang ditawarkan, menempatkan media sosial sebagai pilihan paling nyaman bagi remaja untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan. Tiap menit, rata-rata status di akun media sosial remaja berganti. Seolah-olah mereka ingin memberitahu pada dunia bahwa pekerjaan mereka tiada lain adalah ‘nongkrong’ di sana. Ekspresi itu dapat tercurah lewat kata-kata (update status), video, audio, maupun foto. Uniknya, tren foto selfie malah menjangkiti hampir seluruh pengguna media sosial.
Hal tersebut disebabkan karena kebanyakan pengguna media sosial adalah remaja. Sebuah penelitian dari Frontier Consulting Grup yang dilaporkan dalam Marketing.co.id (2012) menyebutkan bahwa 97,5% pengguna media sosial adalah mereka yang berusia 13 hingga 18 tahun, atau mereka yang duduk di bangku SMP dan SMA. Rentang usia remaja tersebut memang menjadi momen paling laris untuk menarsiskan diri. Ditambah lagi, perkembangan teknologi dengan fasilitas kamera handphone yang kian canggih, membuat kebiasaan ini makin menjamur. Akibatnya, lini masa media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, kini dipenuhi foto-foto dengan pose selfie.
Ironisnya, foto dengan pose selfie ini terkadang ‘merusak’ kesehatan mata. Sebut saja gaya ‘duck face’, pose selfie yang identik dengan bibir yang dimonyong-monyongkan secara sengaja, yang sedang menjangkiti remaja pemuja selfie. Mereka juga dengan sengaja memanyun-manyunkan wajah, mengedip-ngedipkan mata, atau membentuk tanda ‘V’ pada jari mereka. Hal tersebut dilakukan guna terlihat manis di depan kamera. Rasa takjub akan hasil foto menambah daftar ‘hitam’ perilaku narsisme ini. Kemudian, foto selfie tersebut diunggah ke media sosial dalam rangka meraup like dan sharesebanyak mungkin. Usaha untuk memperoleh pose terbaik melalui kebiasaan selfie ternyata memiliki korelasi yang erat.
Para ahli mengklaim bahwa seseorang atau beberapa orang yang dengan obsesif mengambil foto diri mereka sendiri, maka kemungkinan mereka sedang mengalami Body Dysmorphic Disorder (BDD). Pengaruh BDD ini menyebabkan seseorang memiliki kesenangan tersendiri, pada satu hal atau lebih, terkait dengan kekurangan dalam penampilan mereka, dan mereka cenderung membesar-besarkannya secara berlebihan (Satuharapan.com, 17/04/2014).
Dilansir dari Daily Mail, tercatat sebanyak 2/3 pasien memiliki kelainan citra tubuh secara obsesif dengan cara selfie. “Mengambil foto diri sendiri merupakan sebuah gejala dari BDD yang berakibat memberikan penilaian terhadap penampilan seseorang,” kata Dr. David Veale, seorang konsultan psikiater dalam terapi perilaku kognitif, di London Selatan dan Maudsley NHS Trust dan The Hospital Priory.
Veale juga menyatakan bahwa dua dari tiga pasien BDD memiliki keharusan untuk berulang kali mengambil gambar dan memasukkan foto tersebut di media sosial. Penggemar selfie dengan pengidap BDD dapat menghabiskan waktu berjam-jam dalam mencoba mengambil gambar yang tidak menunjukkan cacat atau kekurangan pada penampilan mereka, yang mereka sadari dan yang mungkin tidak terlihat oleh orang lain. Hal ini benar-benar mencengangkan. Bagaimana tidak? Kebiasaan berfoto dengan konsep menarsiskan diri alias selfie ternyata dapat berujung pada kelainan medis. Bagaimana dengan Anda?
Ahli lain mengatakan bahwa keasyikan dengan selfie bisa menjadi tolak ukur masalah mental lainnya pada orang muda (remaja), khususnya pria. Dr. Pamela Rutledge, Direktur Pusat Penelitian Psikologi Media, di Boston, Massachusetts, dalam sebuah artikel untuk Psychology Today, mengatakan bahwa perilaku selfie sering memicu persepsi memanjakan diri atau mencari perhatian yang dapat menimbulkan perasaan keren jika melakukannya dan terkutuk jika tidak melakukannya. Hal itu merupakan narsisme jenis lain atau memiliki harga diri yang sangat rendah.
Dalam Islam, kita tidak dianjurkan untuk berbuat demikian. Namun bukan pula melarang untuk berfoto secara keseluruhan karena pada dasarnya foto merupakan pemidahan objek. Islam adalah agama yang mengedepankan rasa malu. Sebagai manusia, kita diperintahkan untuk menjaga iffah (kemuliaan diri). Ust. Felix Siauw dalam akun Facebooknya menyebutkan bahwa selfie itu kebanyakan berujung pada takabbur, riya’, dan sedikit ujub.
Bila berselfie, lantas membanding-bandingkan foto kita dengan foto orang lain, merasa foto kita lebih baik atau lebih keren daripada foto orang lain, maka hal ini memungkinkan seseorang untuk takabbur. Bila berselfie, kemudian mengunggah ke media sosial dengan harapan mendapat like, comment, share, ataupun sekedar view dengan kuantitas yang besar, bahkan merasa senang berlebihan atas sederet pilihan ‘apresiasi’ bak selebriti, maka hal ini khawatirnya bermuara pada riya’. Terakhir, bila ber-selfie lalu takjub dengan hasil foto itu, bahkan berulang kali menghapus foto kurang bagus guna mendapatkan pose terbaik, mengagumi hasilnya dan mengagumi diri sendiri setelahnya, maka bisa jadi hal tersebut jatuhnya pada ujub. Waspadalah!
Padahal, sebagai pemegang tongkat estafet pelanjut peradaban bangsa, seyogyanya remaja tidak lebih disibukan dengan aktivitas selfie di media sosial yang bisa saja membuatnya mengalami BDD. Pemanfaatan media sosial dengan postingan karya konstruktif merupakan kondisi yang amat dinantikan dari generasi muda. Semoga remaja kita segera tersadar dari biusan perilaku selfie dan pengaruh BDD. Wallahu ‘alam bisshawab.
Oleh: Hasni Tagili, S. Pd., M. Pd
(sholihah/muslimahzone.com)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

LAYANAN PELANGGAN