A. Hukum Umrah
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum ibadah umrah
adalah wajib bagi yang telah mampu, walaupun tingkat kewajiban dan kedudukannya
tidak setingkat dengan ibadah haji[1]. Di antara
ulama tersebut adalah Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab shahihnya, dengan tegas
beliau mengatakan بَابُ وُجُوبِ الْعُمْرَةِ وَفَضْلِهَا (Bab Kewajiban Ibadah Umrah dan Keutamaannya). Ini juga pendapat
sahabat Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma dan
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Atha’, Thawus, Mujahid,
Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin[2], Al-Imam
Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya[3], Ibnu
Taimiyah[4], juga
pendapat Asy-Syaikh Asy-Syinqithy[5] dan
Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin, mereka berdalil dengan:
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika
beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هَلْ عَلَى
النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ،
الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ.
“Apakah ada kewajiban berjihad atas kaum wanita?
Beliau menjawab: ‘Benar, wajib atas kaum wanita jihad tanpa ada perang padanya,
yaitu haji dan umrah.”[6]
Atsar
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata,
لَيْسَ مِنْ
خَلْقِ اللَّهِ أَحَدٌ إِلاَّ عَلَيْهِ حَجَّةٌ وَعُمْرَةٌ وَاجِبَتَانِ مَنِ
اسْتَطَاعَ إِلَى ذَلِكَ سَبِيلاً فَمَنْ زَادَ بَعْدَهَا شَيْئًا فَهُوَ خَيْرٌ
وَتَطَوُّعٌ.
“Tak seorangpun dari hamba Allah kecuali wajib atasnya
haji dan umrah kedua amalan ini hukumnya wajib bagi yang mampu melakukannya
barang siapa yang menambah setelah itu maka itu baik dan tambahan amal .”[7]
Atsar
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata tentang hukum
ibadah umrah,
الْعُمْرَةُ
وَاجِبَةٌ كَوُجُوبِ الْحَجِّ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً.
Dalam riwayat lain,
الحَجُّ
وَالْعُمْرَةُ فَرِيضَتَانِ عَلَى النَّاسِ كُلِّهِم.
Beliau juga berkata,
إِنَّهَا
لقَرِينَتُهَا فِي كِتَابِ اللهِ ( وَأَتِمُّوا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ للهِ ).
“Sesungguhnya ia (ibadah umrah) adalah kawan setia
ibadah haji dalam Al-Qur’an, (yaitu firman Allah yang artinya): “Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah (Al-Baqarah: 196).”[10]
Atsar
Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
الحَجُّ
والعُمْرَةُ فَرِيْضَتَانِ لاَ يَضُرُّكَ بِأَيِّهُمَا بَدَأْتَ.
Hadits
Abu Razin Al-Uqaili, dia bertanya kepada Rasulullah,
يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلَا الْعُمْرَةَ وَلَا
الظَّعْنَ.
“Wahai Rasulullah sesungguhnya ayahku seorang yang tua
renta tidak mampu untuk berhaji dan umrah.”
قَالَ حُجَّ
عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ.
Ada dua
hal penting yang wajib diketahui oleh setiap muslim setelah ia memahami bahwa
hukum umrah adalah wajib bagi yang mampu. Dua hal penting itu adalah:
- Kewajiban
menunaikan ibadah umrah bagi yang telah memiliki kemampuan adalah bersifat
faur, yaitu wajib bersegera menunaikannya dan tidak boleh ditunda.
- Terkhusus
kaum wanita yang telah memiliki kemampuan, baik secara harta maupun fisik,
diwajibkan untuk menunaikan ibadah umrah tersebut bersama mahramnya, dan
dilarang keras baginya untuk pergi tanpa mahram. Hal ini sebagaimana
hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ
إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ. فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ
أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ. فَقَالَ:
اخْرُجْ مَعَهَا.
“Tidak boleh seorang wanita melakukan safar
(bepergian) kecuali bersama dengan mahramnya, dan tidak boleh seorang pria pun
menemui dia kecuali ada mahram yang bersamanya. Seorang pria bertanya: ‘Wahai
Rasululah, sesungguhnya aku ini ingin ikut bertempur bersama sebuah pasukan
tempur, sementara istriku ingin menunaikan haji’. Maka Rasulullah
memerintahkan: Pergilah engkau menemani istrimu (untuk menunaikan haji).”[13]
Dari hadits di atas kita juga mengetahui beberapa
kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ketika haji atau umrah,
yaitu:
Seorang wanita safar untuk menunaikan haji dan umrah
tanpa ditemani oleh mahramnya. Karena pentingnya permasalahan ini hingga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang suami wanita tersebut
ikut serta dalam medan jihad yang sangat mulia demi menemani istrinya sebagai
mahram baginya dalam safar menunaikan ibadah haji.
- Adanya
acara pengangkatan mahram sementara. Praktek ini sering difasilitasi oleh
oknum-oknum travel atau biro perjalanan haji dan umrah. Di samping hal ini
tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan Al-Khulafaur Rasyidin serta para sahabat bahkan para ulama yang
berilmu dan bertaqwa sejak dahulu, juga sangat mengkhawatirkan untuk
terjatuh pada kemaksiatan. Juga, perbuatan ini mengandung kedustaan dan
pengkhianatan. Dikatakan dusta, karena pria yang dikatakan sebagai mahram
itu ternyata bukan mahram yang sebenarnya. Dikatakan khianat, karena pemerintah
Arab Saudi mempersyaratkan adanya mahram bagi jama’ah haji atau umrah
wanita, ternyata surat mahram yang dibuat adalah palsu. Yang sangat
disayangkan, tidak sedikit tokoh agama atau para da’i yang mengetahui
kemungkaran di atas, tetapi tidak berupaya mengingkarinya. Laa haula wa
laa quwwata illa billah
- Terjadinya
khalwah, yaitu berduaannya seorang pria dengan wanita yang bukan
mahramnya di sebuah tempat atau ruangan tanpa ada mahram bagi wanita
tersebut, dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Umar Bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلا كَانَ ثَالِثَهُمَا
الشَّيْطَانُ.
“Tidaklah seorang pria berduaan dengan seorang
wanita (yang bukan mahramnya) kecuali yang ketiganya adalah syaithan.”[14]
- Di
antara kemungkaran yang terjadi di saat prosesi ibadah umrah atau di saat
perjalanan adalah berjabatan tangan antara pria dan wanita yang bukan
mahramnya, hal ini adalah perbuatan yang dilarang, sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمخْيَطٍ
مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرأَةً لاَ تَحِلِّ لَهُ.
“Sungguh kepala salah seorang di antara kalian ditusuk
dengan jarum besi lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang
tidak halal baginya (bukan mahram).”[15]
Semoga Allah selalu membimbing kita semua kepada jalan
yang lurus dan diridhai-Nya.
1. Antara satu umrah dengan umrah
berikutnya sebagai penebus dosa yang terjadi di antara keduanya
Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
الْعُمْرَةُ
إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ
لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“(Antara ibadah) umrah hingga umrah yang berikutnya
sebagai penebus dosa yang terjadi di antara keduanya, dan haji yang mabrur
tiada balasan baginya kecuali al-jannah.”[16]
2. Umrah di bulan Ramadhan senilai dengan
haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
عُمْرَةٌ فِي
رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً – أَوْ حَجَّةً مَعِي.
Hadits ini menunjukkan bahwa pahala sebuah amalan bisa
bertambah dengan sebab kemuliaan waktu pelaksanaan, dalam hal ini adalah bulan
Ramadhan.
3. Ibadah umrah ternilai sebagai ibadah
jihad bagi kaum pria yang sudah tua atau lemah dan bagi kaum wanita
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
جِهَادُ
الْكَبِيْرِ وَالضَّعِيْفِ وَالْمَرْأَةِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ.
“Jihad bagi orang yang telah
tua atau lemah dan kaum wanita adalah haji dan umrah.”[18]
4. Ibadah umrah yang dilakukan beriringan
setelah haji dapat menghapuskan dosa dan menghilangkan kemiskinan
Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَابِعُوْا
بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ
كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خُبْثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ.
“Jadikanlah antara ibadah
haji dan umrah secara beriringan, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan
dosa-dosa sebagaimana alat pembara api membersihkan kotoran logam besi, emas,
dan perak.”[19]
5. Para jama’ah umrah adalah tamu
kebesaran Allah yang akan dikabulkan permintaannya
Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحُجَّاجُ
وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ وَسَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ.
“Para jama’ah haji dan umrah
adalah tamu kebesaran Allah. Allah panggil mereka dan merekapun memenuhi
panggilan Allah. Mereka memohon kepada Allah, dan Allah pun mengabulkan
(permintaan) mereka.”[20]
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
الْغَازِيْ
فِيْ سَبِيَلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللهِ دَعَاهُمْ
فَأَجَابُوْهُ وَسَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ.
“Seorang yang bertempur di
jalan agama Allah, seorang yang berhaji, dan seorang yang berumrah adalah tamu
kebesaran Allah. Allah memanggil mereka dan merekapun memenuhi panggilan-Nya,
Mereka berdoa kepada Allah, dan Allah pun mengabulkan (permintaan) mereka.”[21]
[1] Lihat
rincian tentang permasalahan ini dalam Asy-Syarhul Mumti’ (VII/9-10).
[2] Mushannaf
Ibn Abi Syaibah.
[3]
Majmu’Al-Fatawa VI/165.
[4] Syarhul
’Umdah II/141.
[5] Adhwa’ul
Bayan dalam tafsir surat Al-Hajj.
[6] HR. Ahmad,
Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani (Al-Irwa’, hadits no. 981)
[7] HR. Ibnu
Abi Syaibah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim, Al-Baihaqi.
[8] HR. Ad-Daraquthni,
Al-Hakim, Al-Baihaqi.
[9] HR. Ibnu
Abi Syaibah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim, Al-Baihaqi.
[10] HR.
Al-Bukhari secara mu’allaq.
[11] HR.
Al-Hakim, mauquf perkataan Zaid bin Tsabit dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani (Lihat Adh-Dha’ifah, no. 3520)
[12] HR. Ahmad,
Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
[13] Muttafaqun
‘Alaihi.
[14] HR.
At-Tirmidzi.
[15] HR.
Ath-Thabarani, Al-Baihaqi, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Hasan Shahih
(Shahih At-Targhib wat-Tarhib, no. 1910)
[16] Muttafaqun
‘Alaihi.
[17] Muttafaqun
‘Alaihi.
[18] HR.
An-Nasa’i dengan sanad yang hasan. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shaih
At-Targhib wat Tarhib no. 1100: “Hasan lighairihi.”
[19] HR.
At-Tirmidzi, dan ia mengatakan: Hadits hasan shahih. Juga diriwayatkan oleh
Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. (Lihat Shahih At-Targhib
wat-Tarhib, no. 1105)
[20] HR.
Al-Bazzar. (Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib, no. 1107. Asy-Syaikh Al-Albani
mengatakan: “hasan lighairihi.”
[21] HR. Ibnu
Majah dan Ibnu Hibban dalam Shaihnya. (Lihat Shahih At-Targhib wat-Tarhib, no.
1108. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “hasan.”
0 komentar:
Posting Komentar