Jumat, 07 Oktober 2016

Hukum dan Fadhilah Ibadah Umroh

A. Hukum Umrah
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum ibadah umrah adalah wajib bagi yang telah mampu, walaupun tingkat kewajiban dan kedudukannya tidak setingkat dengan ibadah haji[1]. Di antara ulama tersebut adalah Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab shahihnya, dengan tegas beliau mengatakan   بَابُ وُجُوبِ الْعُمْرَةِ وَفَضْلِهَا (Bab Kewajiban Ibadah Umrah dan Keutamaannya). Ini juga pendapat sahabat Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Atha’, Thawus, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin[2], Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya[3], Ibnu Taimiyah[4], juga pendapat Asy-Syaikh Asy-Syinqithy[5] dan Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin, mereka berdalil dengan:
 Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ، الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ.
“Apakah ada kewajiban berjihad atas kaum wanita? Beliau menjawab: ‘Benar, wajib atas kaum wanita jihad tanpa ada perang padanya, yaitu haji dan umrah.”[6]
 Atsar Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata,
لَيْسَ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ أَحَدٌ إِلاَّ عَلَيْهِ حَجَّةٌ وَعُمْرَةٌ وَاجِبَتَانِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَى ذَلِكَ سَبِيلاً فَمَنْ زَادَ بَعْدَهَا شَيْئًا فَهُوَ خَيْرٌ وَتَطَوُّعٌ.
“Tak seorangpun dari hamba Allah kecuali wajib atasnya haji dan umrah kedua amalan ini hukumnya wajib bagi yang mampu melakukannya barang siapa yang menambah setelah itu maka itu baik dan tambahan amal .”[7]
 Atsar Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata tentang hukum ibadah umrah,
الْعُمْرَةُ وَاجِبَةٌ كَوُجُوبِ الْحَجِّ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً.
“Ibadah Umrah wajib seperti kewajiban ibadah Haji bagi yang mampu.”[8]
Dalam riwayat lain,
الحَجُّ وَالْعُمْرَةُ فَرِيضَتَانِ عَلَى النَّاسِ كُلِّهِم.
“Haji dan Umrah merupakan kewajiban atas manusia seluruhnya.”[9]
Beliau juga berkata,
إِنَّهَا لقَرِينَتُهَا فِي كِتَابِ اللهِ ( وَأَتِمُّوا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ للهِ ).
“Sesungguhnya ia (ibadah umrah) adalah kawan setia ibadah haji dalam Al-Qur’an, (yaitu firman Allah yang artinya): “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah (Al-Baqarah: 196).”[10]
 Atsar Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
الحَجُّ والعُمْرَةُ فَرِيْضَتَانِ لاَ يَضُرُّكَ بِأَيِّهُمَا بَدَأْتَ.
“Haji dan Umrah adalah dua amalan fardhu tidak mengapa dengan yang mana kamu mulai.”[11]
 Hadits Abu Razin Al-Uqaili, dia bertanya kepada Rasulullah,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلَا الْعُمْرَةَ وَلَا الظَّعْنَ.
“Wahai Rasulullah sesungguhnya ayahku seorang yang tua renta tidak mampu untuk berhaji dan umrah.”
قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ.
Maka Rasulullah bersabda, “berhajilah kamu untuk ayahmu dan berumralah”[12]
 Ada dua hal penting yang wajib diketahui oleh setiap muslim setelah ia memahami bahwa hukum umrah adalah wajib bagi yang mampu. Dua hal penting itu adalah:
  1. Kewajiban menunaikan ibadah umrah bagi yang telah memiliki kemampuan adalah bersifat faur, yaitu wajib bersegera menunaikannya dan tidak boleh ditunda.
  2. Terkhusus kaum wanita yang telah memiliki kemampuan, baik secara harta maupun fisik, diwajibkan untuk menunaikan ibadah umrah tersebut bersama mahramnya, dan dilarang keras baginya untuk pergi tanpa mahram. Hal ini sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ. فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ. فَقَالَ: اخْرُجْ مَعَهَا.
“Tidak boleh seorang wanita melakukan safar (bepergian) kecuali bersama dengan mahramnya, dan tidak boleh seorang pria pun menemui dia kecuali ada mahram yang bersamanya. Seorang pria bertanya: ‘Wahai Rasululah, sesungguhnya aku ini ingin ikut bertempur bersama sebuah pasukan tempur, sementara istriku ingin menunaikan haji’. Maka Rasulullah memerintahkan: Pergilah engkau menemani istrimu (untuk menunaikan haji).”[13] 
Dari hadits di atas kita juga mengetahui beberapa kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ketika haji atau umrah, yaitu:
Seorang wanita safar untuk menunaikan haji dan umrah tanpa ditemani oleh mahramnya. Karena pentingnya permasalahan ini hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang suami wanita tersebut ikut serta dalam medan jihad yang sangat mulia demi menemani istrinya sebagai mahram baginya dalam safar menunaikan ibadah haji.
  1. Adanya acara pengangkatan mahram sementara. Praktek ini sering difasilitasi oleh oknum-oknum travel atau biro perjalanan haji dan umrah. Di samping hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafaur Rasyidin serta para sahabat bahkan para ulama yang berilmu dan bertaqwa sejak dahulu, juga sangat mengkhawatirkan untuk terjatuh pada kemaksiatan. Juga, perbuatan ini mengandung kedustaan dan pengkhianatan. Dikatakan dusta, karena pria yang dikatakan sebagai mahram itu ternyata bukan mahram yang sebenarnya. Dikatakan khianat, karena pemerintah Arab Saudi mempersyaratkan adanya mahram bagi jama’ah haji atau umrah wanita, ternyata surat mahram yang dibuat adalah palsu. Yang sangat disayangkan, tidak sedikit tokoh agama atau para da’i yang mengetahui kemungkaran di atas, tetapi tidak berupaya mengingkarinya. Laa haula wa laa quwwata illa billah
  2. Terjadinya khalwah, yaitu berduaannya seorang pria dengan wanita yang bukan mahramnya di sebuah tempat atau ruangan tanpa ada mahram bagi wanita tersebut, dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Umar Bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ.
Tidaklah seorang pria berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) kecuali yang ketiganya adalah syaithan.”[14]
  1. Di antara kemungkaran yang terjadi di saat prosesi ibadah umrah atau di saat perjalanan adalah berjabatan tangan antara pria dan wanita yang bukan mahramnya, hal ini adalah perbuatan yang dilarang, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
  لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرأَةً لاَ تَحِلِّ لَهُ.
“Sungguh kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya (bukan mahram).”[15]

Semoga Allah selalu membimbing kita semua kepada jalan yang lurus dan diridhai-Nya.

B. Fadhilah Umrah
1.   Antara satu umrah dengan umrah berikutnya sebagai penebus dosa yang terjadi di antara keduanya 
Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“(Antara ibadah) umrah hingga umrah yang berikutnya sebagai penebus dosa yang terjadi di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali al-jannah.”[16]
2.   Umrah di bulan Ramadhan senilai dengan haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
 Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
عُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً – أَوْ حَجَّةً مَعِي.
     “Umrah di bulan Ramadhan senilai dengan satu haji atau satu haji bersamaku.”[17]
Hadits ini menunjukkan bahwa pahala sebuah amalan bisa bertambah dengan sebab kemuliaan waktu pelaksanaan, dalam hal ini adalah bulan Ramadhan. 
3.   Ibadah umrah ternilai sebagai ibadah jihad bagi kaum pria yang sudah tua atau lemah dan bagi kaum wanita
 Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
جِهَادُ الْكَبِيْرِ وَالضَّعِيْفِ وَالْمَرْأَةِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ.
     “Jihad bagi orang yang telah tua atau lemah dan kaum wanita adalah haji dan umrah.”[18] 
4.   Ibadah umrah yang dilakukan beriringan setelah haji dapat menghapuskan dosa dan menghilangkan kemiskinan 
Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خُبْثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ.
     “Jadikanlah antara ibadah haji dan umrah secara beriringan, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana alat pembara api membersihkan kotoran logam besi, emas, dan perak.”[19]
5.   Para jama’ah umrah adalah tamu kebesaran Allah yang akan dikabulkan permintaannya 
Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ وَسَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ.
     “Para jama’ah haji dan umrah adalah tamu kebesaran Allah. Allah panggil mereka dan merekapun memenuhi panggilan Allah. Mereka memohon kepada Allah, dan Allah pun mengabulkan (permintaan) mereka.”[20]
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْغَازِيْ فِيْ سَبِيَلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ وَسَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ.
     “Seorang yang bertempur di jalan agama Allah, seorang yang berhaji, dan seorang yang berumrah adalah tamu kebesaran Allah. Allah memanggil mereka dan merekapun memenuhi panggilan-Nya, Mereka berdoa kepada Allah, dan Allah pun mengabulkan (permintaan) mereka.”[21]


[1] Lihat rincian tentang permasalahan ini dalam Asy-Syarhul Mumti’ (VII/9-10).
[2] Mushannaf Ibn Abi Syaibah.
[3] Majmu’Al-Fatawa VI/165.
[4] Syarhul ’Umdah II/141.
[5] Adhwa’ul Bayan dalam tafsir surat Al-Hajj.
[6] HR. Ahmad, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani (Al-Irwa’, hadits no. 981)
[7] HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim, Al-Baihaqi.
[8] HR. Ad-Daraquthni, Al-Hakim, Al-Baihaqi.
[9] HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim, Al-Baihaqi.
[10] HR. Al-Bukhari secara mu’allaq.
[11] HR. Al-Hakim, mauquf perkataan Zaid bin Tsabit dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani (Lihat Adh-Dha’ifah, no. 3520)
[12] HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
[13] Muttafaqun ‘Alaihi.
[14] HR. At-Tirmidzi.
[15] HR. Ath-Thabarani, Al-Baihaqi, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Hasan Shahih (Shahih At-Targhib wat-Tarhib, no. 1910)
[16] Muttafaqun ‘Alaihi.
[17] Muttafaqun ‘Alaihi.
[18] HR. An-Nasa’i dengan sanad yang hasan. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shaih At-Targhib wat Tarhib no. 1100: “Hasan lighairihi.”
[19] HR. At-Tirmidzi, dan ia mengatakan: Hadits hasan shahih. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. (Lihat Shahih At-Targhib wat-Tarhib, no. 1105)
[20] HR. Al-Bazzar. (Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib, no. 1107. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “hasan lighairihi.”

[21] HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shaihnya. (Lihat Shahih At-Targhib wat-Tarhib, no. 1108. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “hasan.”http://bcp.crwdcntrl.net/map/c=3825/tp=DTSC/tpid=1FE7044594B0F557C106C26602295B8C
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

LAYANAN PELANGGAN